"Finality": Harry Halim dan Ekspresi Akhir Sebuah Rasa

Harry Halim kembali memukau dunia mode dengan koleksi terbarunya, "Finality," yang diluncurkan pada 21 Maret 2025 di Ciputra Artpreneur. Koleksi Musim Dingin 2025 ini bukan sekadar presentasi busana, melainkan sebuah narasi mendalam tentang perjalanan emosional sang perancang.

"Finality" lahir dari pergulatan batin Harry Halim dalam tiga bulan terakhir, diwarnai kesedihan, patah hati, dan refleksi mendalam tentang lingkaran kehidupan menjelang usianya yang ke-40. Koleksi ini dipersembahkan untuk sang ayah yang sedang sakit.

(Jihane Almira Runway Harry Halim. Foto: Dok. Harry Halim)

Koleksi "Finality" ini masih memiliki kemiripan dengan koleksi "Redemption", dengan gaya siluet yang lebih sederhana. Koleksi ini menampilkan potongan-potongan klasik yang dituangkan pada mantel panjang berbahan wol dan kulit, dipadukan dengan bulu buatan. Teknik tailoring menjadi fokus utama, menunjukkan keahlian Harry Halim dalam menciptakan busana yang terstruktur dan elegan.

(Baca Juga: IAM Perkenalkan Kampanye Perdana "Obscuring Overtures)

(Chicco Jerikho Runway Harry Halim. Foto: Dok. Harry Halim)

Harry Halim menggandeng sejumlah nama besar seperti Jihane Almira Chedid, Egi Fedly, dan Chicco Jerikho untuk memperagakan koleksinya. Adinia Wirasti pun turut memeriahkan acara untuk pertama kalinya.

(Baca Juga: Studio 133 BIYAN Padukan Budaya & Estetika di Koleksi Raya)

Sebanyak 33 tampilan dipersembahkan dalam koleksi ini, dibuka dengan nuansa hitam yang mendominasi. Sentuhan warna merah menjadi ciri khas, sementara warna nude melambangkan kemurnian. Tata rias dari tim Gummi Arya dan Bella Feryana, serta penataan rambut dramatis ala punk-wave dari Mirror Mirror dan Hendro Sudarta, semakin memperkuat suasana pemakaman yang elegan. Para model juga mengenakan veil dan topi fedora kulit hitam.

(Naomi Soegianto Runway Harry Halim. Foto: Dok. Harry Halim)

NJS Gold by Naomi, merek perhiasan emas Indonesia, kembali mendukung peluncuran koleksi ini sebagai sponsor. "Finality" mengajarkan bahwa di tengah keputusasaan dan rasa sakit, keindahan tetap hadir dalam berkarya. Karena satu-satunya kepastian adalah kematian, dan selebihnya adalah sebuah kemungkinan.

(Penulis: Deanisha Oktaviani)